Senin, 07 Mei 2012



WARA’
(SALAH SATU AKHLAK SALAFUSH SHALIH)

A.    MUKADIMAH

Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas semua yang mereka lakukan di dunia. Kita semua tahu bahwa dunia adalah ujian bagi manusia dan melalaikan. Sering, seseorang demi mendapatkan kesenangan dunia, mereka menghalalkan segala cara untuk mencapainya. Bahkan, tidak jarang orang terjerumus ke dalam hal-hal yang syubhat dalam perkara agama. Dan ini merupakan kerusakan yang besar. Perkara-perkara yang syubhat atau samar banyak sekali kita jumpai dala kehidupan kita. Sebagaimana dalam sebuah hadits “yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas”, maka ada hal yang berada diantara keduanya yang disebut syubhat. Syubhat inilah harus kita waspadai demi keselamatan kita pada akhir kelak. Oleh sebab itu, sikap wara’ terhadap hal-hal yang menjerumuskan kita kepada kerugian perlu kita pupuk dengan meneladani Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan generasi terbaik yang beliau kabarkan, yaitu tiga generasi terbaik.

B.     PENGERTIAN WARA’
Al-wara’ menurut bahasa  berasal dari kata "wara'a yara'u war'an wa wara'an wa wari'atan", artinya menjaga dan menghindari dari hal-hal yang diharamkan dan perbuatan menahan diri dari hal halal yang mubah. Pelakunya disebut wari'un wa mutawarri'un. lafazh wari'a yaura'u wa yauri'u artinya menjadi orang yang wara'. tawarra'a minal-amri artinya menjauhinya. al-wara' dapat menggerakkan ketakwaan.
Menurut pengertian terminologis, al-wara' artinya menahan diri dari hal-hal yang dapat menimbulka mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan syubhat, karena syubhat ini dapat menimbulkan mudharat.
Di antara tanda-tanda sifat wara' adalah :
·      Sangat berhati-hati dari yang haram dan syubhat.
·      Membuat pembatas di antaranya dan yang dilarang
·      Menjauhi semua yang diragukan.
·      Tidak berlebihan dalam persoalan yang boleh.
·      Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan ilmu.
·      Meninggalkan perkara yang tidak berguna.


C.    DALIL –DALIL WARA’

Beberapa hadits tentang wara’ sebagai berikut:
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma, ia berkata : Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam memegang kedua pundakku dan bersabda : “Hiduplah di dunia ini seakan-akan kamu orang asing atau orang yang sedang melintasi jalan”. Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma berkata :”Jika engkau memasuki waktu sore, maka jangan menunggu waktu pagi. Dan jika engkau memasuki waktu pagi, maka jangan menunggu waktu sore. “Ambillah kesempatan di masa sehatmu untuk menghadapi masa sakitmu, dan dari hidupmu untuk menghadapi kematianmu”. (HR. Bukhari).
Dari Abu Abdillah An-Numan bin Basyir Radhiyallahu’anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah Shalallahu’alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu juga jelas, antara keduanya terdapat yang samar yang tidak diketahui oleh banyak umat manusia. Barangsiapa menjaga diri dari hal-hal yang samar itu, maka ia telah menjaga agama dan harga dirinya, dan barangsiapa jatuh ke dalam perkara yang samar, maka ia telah jatuh dalam wilayah haram, seperti seorang pengembala yang mengembala di sekitar daerah terlarang, sedikit lagi ia akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja itu mempunyai daerah terlarang. Ketahuilah sesungguhnya derah larangan Allah adalah hal-hal yang diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging, bila ia baik maka baiklah seluruh jasad itu, dan bila ia rusak maka rusaklah pula seluruh jasad, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.”(HR. Bukhari dan Muslim).
Masih banyak hadits-hadits lain yang mengancurkan kita agar hati-hati dalam menjaga lisan, tidak berlebihan dalam makan, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat dan sebagainya.

D.    URGENSI WARA’

Dengan sikap wara’ seseorang akan terjaga agama dan kehormatannya
فَمَنْ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
"…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, ...
Selain itu wara akan menjaga seseorang dari istijrod.



E.     KISAH SALAFUSH SHALLIH

Sikap wara’ sudah pasti dimiliki oleh Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam. Beliau adalah orang yang paling takut dengan Allah. Beliau orang yang paling menjaga syari’at Allah. Setiap perilaku beliau jauh dari syubhat karena akhlak beliau adalah Al-Quran.
Aisyah radhiyallahu 'anha berkata tentang Zainab radhiyallahu 'anha, di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara yang ia tidak mengetahui: 'Maka Allah swt menjaganya dengan sifat wara'.
Abu Hurairah mengatakan: “Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang. Setelah selesai menyantap makanan itu saya ingin membersihkan tangannya dari bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya”.
            Sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.

Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: “Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu”. Imam Ahmad berkata, “Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu”. Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: “Inilah milikmu”. Imam Ahmad berkata, “Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi,” sambil meninggalkan tukang sayur itu.


           

ShoutBox


ShoutMix chat widget