WARA’
(SALAH SATU AKHLAK SALAFUSH SHALIH)
A. MUKADIMAH
Setiap
manusia akan dimintai pertanggungjawaban atas semua yang mereka lakukan di
dunia. Kita semua tahu bahwa dunia adalah ujian bagi manusia dan melalaikan.
Sering, seseorang demi mendapatkan kesenangan dunia, mereka menghalalkan segala
cara untuk mencapainya. Bahkan, tidak jarang orang terjerumus ke dalam hal-hal
yang syubhat dalam perkara agama. Dan ini merupakan kerusakan yang besar. Perkara-perkara
yang syubhat atau samar banyak sekali kita jumpai dala kehidupan kita.
Sebagaimana dalam sebuah hadits “yang halal itu jelas dan yang haram itu
jelas”, maka ada hal yang berada diantara keduanya yang disebut syubhat.
Syubhat inilah harus kita waspadai demi keselamatan kita pada akhir kelak. Oleh
sebab itu, sikap wara’ terhadap hal-hal yang menjerumuskan kita kepada kerugian
perlu kita pupuk dengan meneladani Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam dan generasi terbaik yang beliau
kabarkan, yaitu tiga generasi terbaik.
B. PENGERTIAN WARA’
Al-wara’
menurut bahasa berasal dari kata "wara'a
yara'u war'an wa wara'an wa wari'atan", artinya menjaga dan
menghindari dari hal-hal yang diharamkan dan perbuatan menahan diri dari hal
halal yang mubah. Pelakunya disebut wari'un wa mutawarri'un. lafazh wari'a
yaura'u wa yauri'u artinya menjadi orang yang wara'. tawarra'a
minal-amri artinya menjauhinya. al-wara' dapat menggerakkan
ketakwaan.
Menurut
pengertian terminologis, al-wara' artinya menahan diri dari hal-hal yang
dapat menimbulka mudharat lalu menyeretnya kepada hal-hal yang haram dan
syubhat, karena syubhat ini dapat menimbulkan mudharat.
Di antara tanda-tanda sifat wara' adalah :
·
Sangat berhati-hati dari yang haram dan
syubhat.
·
Membuat pembatas di antaranya dan yang
dilarang
·
Menjauhi semua yang diragukan.
·
Tidak berlebihan dalam persoalan yang
boleh.
·
Tidak memberikan fatwa tanpa berdasarkan
ilmu.
·
Meninggalkan perkara yang tidak berguna.
C. DALIL –DALIL WARA’
Beberapa hadits tentang wara’ sebagai berikut:
Dari
Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma, ia
berkata : Rasulullah shalallahu’alaihi wa
sallam memegang kedua pundakku dan bersabda : “Hiduplah di dunia ini
seakan-akan kamu orang asing atau orang yang sedang melintasi jalan”. Ibnu Umar
Radhiyallahu’anhuma berkata :”Jika engkau memasuki waktu sore, maka jangan
menunggu waktu pagi. Dan jika engkau memasuki waktu pagi, maka jangan menunggu
waktu sore. “Ambillah kesempatan di masa sehatmu untuk menghadapi masa sakitmu,
dan dari hidupmu untuk menghadapi kematianmu”. (HR. Bukhari).
Dari
Abu Abdillah An-Numan bin Basyir Radhiyallahu’anhu
berkata: Aku mendengar Rasulullah Shalallahu’alaihi
wasallam bersabda : “Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu
juga jelas, antara keduanya terdapat yang samar yang tidak diketahui oleh
banyak umat manusia. Barangsiapa menjaga diri dari hal-hal yang samar itu, maka
ia telah menjaga agama dan harga dirinya, dan barangsiapa jatuh ke dalam
perkara yang samar, maka ia telah jatuh dalam wilayah haram, seperti seorang
pengembala yang mengembala di sekitar daerah terlarang, sedikit lagi ia akan
masuk ke dalamnya. Ketahuilah, setiap raja itu mempunyai daerah terlarang.
Ketahuilah sesungguhnya derah larangan Allah adalah hal-hal yang
diharamkan-Nya. Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu terdapat segumpal daging,
bila ia baik maka baiklah seluruh jasad itu, dan bila ia rusak maka rusaklah
pula seluruh jasad, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati.”(HR.
Bukhari dan Muslim).
Masih
banyak hadits-hadits lain yang mengancurkan kita agar hati-hati dalam menjaga
lisan, tidak berlebihan dalam makan, meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat
dan sebagainya.
D. URGENSI WARA’
Dengan sikap wara’ seseorang akan terjaga agama dan
kehormatannya
فَمَنْ
اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدْ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَعِرْضِهِ
"…Maka barangsiapa yang menahan diri dari yang
syubhat, niscaya ia telah membersihkan agama dan kehormatannya, ..."
Selain itu wara akan
menjaga seseorang dari istijrod.
E. KISAH SALAFUSH SHALLIH
Sikap
wara’ sudah pasti dimiliki oleh Rasulullah
shalallahu’alaihi wasallam. Beliau adalah orang yang paling takut dengan
Allah. Beliau orang yang paling menjaga syari’at Allah. Setiap perilaku beliau
jauh dari syubhat karena akhlak beliau adalah Al-Quran.
Aisyah radhiyallahu 'anha
berkata tentang Zainab radhiyallahu 'anha,
di mana ia menjaga pendengaran dan penglihatannya dari terjerumus dalam perkara
yang ia tidak mengetahui: 'Maka Allah swt menjaganya dengan sifat wara'.
Abu Hurairah
mengatakan: “Pada suatu hari seorang saudaraku datang mengunjungiku. Untuk
menyajikan makanan buat menghormatinya, saya belikan lauk seekor ikan panggang.
Setelah selesai menyantap makanan itu saya ingin membersihkan tangannya dari
bau ikan bakar itu. Dari dinding rumah tetangga, saya mengambil debu bersih
untuk membersihkan dan menghilangkan bau amis dari tangannya. Akan tetapi saya
belum minta izin tetangga tersebut untuk menghalalkan perbuatan saya itu. Saya
menyesali atas perbuatan saya itu empat puluh tahun lamanya”.
Sahabat Umar bin Khattab meninggalkan 9/10 (sembilan per
sepuluh) dari hartanya yang halal karena kuatir berasal dari perilaku haram.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: “Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu”. Imam Ahmad berkata, “Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu”. Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: “Inilah milikmu”. Imam Ahmad berkata, “Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi,” sambil meninggalkan tukang sayur itu.
Imam Ahmad bin Hanbal pernah menggadaikan sebuah bejana tembaga kepada tukang sayur Makkah. Ketika hendak ditebusnya bejananya itu, si tukang sayur mengeluarkan dua buah bejana lalu ia berkata: “Ambillah salah satu, mana yang jadi milikmu”. Imam Ahmad berkata, “Saya sendiri ragu, mana dari dua bejana itu yang menjadi milikku. Untuk itu ambil olehmu bejana dan uang tebusannya. Saya rela semua untukmu”. Tukang sayur itu serta merta menunjukkan, mana bejana milik Imam Ahmad, lalu berkata: “Inilah milikmu”. Imam Ahmad berkata, “Sesungguhnya aku hanya menguji kejujuranmu! Sudah, saya tidak akan membawanya lagi,” sambil meninggalkan tukang sayur itu.